[BUTENA Edisi IV] Ancaman Tumbangnya Industri Tekstil di Indonesia

Ancaman Tumbangnya Industri Tekstil di Indonesia


Dilansir dari Apparelsearch, tekstil merupakan proses pembuatan benang dan kain dari bahan baku serat, yang kemudian diolah menjadi pakaian jadi atau produk lainnya. Serat yang dipakai berasal dari serat filamen, serat staple, serat alam, atau serat sintesis. Umumnya, proses produksi dalam industri tekstil dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pembuatan serat (fiber mill), pembuatan benang (spinning mill), dan pembuatan kain (fabric mill).

Dalam kancah global, industri tekstil mulai dikenal pada abad 11 dan terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Beberapa negara dengan industri tekstil yang signifikan di antaranya Tiongkok, Bangladesh, India, Vietnam, Pakistan, Indonesia, Turki, dan Meksiko. Persebaran industri tekstil dapat berubah seiring waktu, tergantung pada faktor ekonomi, kebijakan pemerintah, dan pergeseran dalam rantai pasok global. 

Di Indonesia, industri tekstil mulai berkembang pada tahun 1929. Berawal dari industri rumahan, dengan menerapkan proses weaving (sub-sektor pertenunan) dan knitting (perajutan), menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Produk yang dihasilkan berupa selendang, sabuk, lurik, kain panjang, dan sarung. Kemudian, beralih menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM) pada tahun 1939. Industri tekstil Indonesia semakin berkembang dan puncaknya pada tahun 1986-1997, ekspor industri tekstil menjadi penghasil devisa negara sektor nonmigas. Namun, krisis multidimensi tahun 1998 membuat kinerja industri tekstil nasional melemah. Terus mengalami pasang surut di tahun-tahun berikutnya, hingga ancaman gulung tikar akibat pandemi Covid-19. 

Sejak kuartal II-2020, industri tekstil mulai merasakan dampak pandemi Covid-19 seiring anjloknya utilisasi industri tekstil hingga 30% akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penurunan daya beli masyarakat. Selain itu, berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia terus menurun. Pada tahun 2019, nilai ekspor TPT sebesar 12 miliar dollar AS dan menurun drastis menjadi 5,85 miliar dollar AS pada tahun 2020. Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga menunjukkan bahwa per 21 November 2022, 97 ribu industri TPT melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 30 ribu orang buruh. Di antaranya, PT Tuntex Garment Indonesia, PT Fotexco Busana International, dan PT Tyfountex Indonesia. Berikut beberapa faktor yang menyebabkan industri tekstil nasional mulai meredup:

  1. Persaingan Global yang Ketat

Produk China semakin superior karena harganya sangat kompetitif. Devaluasi atau pelemahan mata uang Yuan membuat China menjual produk tekstilnya ke negara lain dengan harga murah. 

  1. Peningkatan Biaya Produksi

Sampai saat ini, Indonesia masih impor bahan baku kapas. Padahal, sejak 22 Juli 2014, pemerintah menerapkan PPN 10% pada kapas. Hal ini menyebabkan harga produksi benang, kain, dan pakaian tidak kompetitif karena harga bahan baku kapas meningkat. 

  1. Adanya Kebijakan Perdagangan Bebas

Belum adanya perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) antara Indonesia dengan negara-negara yang pangsa pasarnya bebas, menyebabkan bea masuk ke negara tersebut relatif tinggi sehingga menurunkan daya saing produk ekspor.

  1. Tantangan Energi, Pembiayaan, Produktivitas, Ketenagakerjaan, dan Regulasi

Terbatasnya teknologi dan SDM yang terampil, prosedur perizinan dan regulasi industri yang rumit, serta kurangnya dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah, menyebabkan pertumbuhan dan daya saing industri tekstil di Indonesia terhambat.

Menurunnya performa industri tekstil Indonesia tentunya berdampak pada berbagai sektor kehidupan, yaitu tingginya angka pengangguran karena masyarakat kehilangan pekerjaan, pengurangan pendapatan, dan ketidakstabilan sosial. Selain itu, runtuhnya industri tekstil dapat menyebabkan tumpahan limbah dan polusi lingkungan yang serius. Limbah kimia yang terbuang dapat mencemari air tanah dan sumber daya alam lainnya, serta polusi udara dapat mempengaruhi kualitas udara lokal.

Melihat permasalahan industri tekstil di Indonesia, perlu strategi yang tepat agar produk tekstil lokal bisa bersaing secara harga dan kualitas dengan produk luar negeri. Ignatius Warsito, Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, mengatakan bahwa beberapa kebijakan fiskal dan nonfiskal telah dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kinerja industri tekstil, di antaranya pengembangan neraca komoditas dan perbaikan rantai pasok bahan baku, implementasi industri 4.0, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), pengendalian impor dan pengenaan trade remedies industri tekstil, Program Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), dan peningkatan kompetensi SDM melalui program vokasi link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri.

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Postingan Populer

Arsip Blog