COP26 di Glasglow
Konferensi tingkat tinggi mengenai pencegahan perubahan yang juga dikenal dengan nama COP26 (Conferences of Parties ke-26) ini diselenggarakan di Glasgow, Britania Raya, dan berlangsung selama 14 hari, dari tanggal 31 Oktober hingga 13 November 2021. COP26 adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di planet ini sebagaimana dilansir dari situs web PBB. COP26 dihadiri oleh kurang lebih 2500 delegasi dari 200 negara.
Pada 1992, PBB menyelenggarakan acara besar di Rio de Janeiro, Brazil, yang disebut Earth Summit. Dalam acara tersebut, Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) diadopsi.
Lewat UNFCCC, negara-negara mengamati konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk mencegah gangguan dari aktivitas manusia pada sistem iklim. Sejak 1994, setiap tahun PBB telah mempertemukan hampir setiap negara di bumi untuk mengikuti KTT iklim global atau COP. Seharusnya, tahun 2021 menjadi COP global ke-27. Namun karena pandemi Covid-19, pelaksanaan COP tertunda setahun. Oleh karenanya, tahun ini digelar COP ke-26 dan disebut sebagai COP26.
Britania Raya bekerja sama dengan Italia dalam penyelenggaraan COP26 ini. Sebuah pre-event dari COP26 diselenggarakan di Milan, Italia pada tanggal 30 September hingga 2 Oktober 2021. Pre-event tersebut terbagi ke dalam dua acara. Acara pertama dikenal dengan nama Milan –The PreCOP26 yang dihadiri oleh perwakilan dari 50 negara. Tujuan dari pre-event tersebut adalah untuk mempersiapkan hal-hal esensial sebelum dilaksanakannya COP26. Salah satunya adalah mengerecutkan pokok pembahasan pada COP26 pada hal-hal sebagai berikut :
Tahun ini, setidaknya ada empat agenda utama yang ingin dicapai dalam COP26. Pertama, menyetujui langkah perubahan komitmen pengurangan emisi. Kedua, memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ketiga, mengalirkan pendanaan untuk aksi iklim. Keempat adalah meningkatkan kerjasama internasional dalam transisi energi dan kendaraan ramah lingkungan.
Acara kedua dikenal dengan nama Youth4Climate yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam penyusunan kebijakan terkait perubahan iklim. Youth4Climate dihadiri oleh sekitar 400 anak muda dengan rentang usia 15 hingga 29 tahun yang berasal dari 189 negara yang berbeda.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah sebuah pernyataan sikap, Youth4Climate Manifesto, yang salah satunya isinya mengimbau para pemimpin dunia untuk segera melakukan transisi energi dengan menghentikan penggunaan batubara dan mengembangkan sumber energi terbarukan.
COP26 di Glasgow, Skotlandia, yang berakhir pada 13 November lalu menghasilkan Pakta Iklim Glasgow. Namun, kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan tahunan ini dinilai masih lemah dan tak cukup meredam krisis iklim. Salah satu persoalan vital yang gagal disepakati adalah terkait dengan rencana penghapusan batubara yang termuat dalam paragraf 36 Pakta Iklim tersebut. Di penghujung penutupan pleno COP26, Delegasi India, Menteri Lingkungan Hidup Bhupender Yadav, mengintervensi rapat dengan mengusulkan untuk “menurunkan” saja dan bukan “menghapus”.
Meski intervensi tersebut mendapat tanggapan keras dari delegasi negara lain seperti Swiss, Uni Eropa, dan Meksiko, perubahan pasal tetap disepakati mayoritas peserta rapat, termasuk oleh Indonesia. Terlepas dari hasil yang mengecewakan, kesepakatan ini tetap perlu dikawal bersama, jangan sampai kesepakatan yang dinilai kurang ini pun masih enggan dipenuhi negara peserta, khususnya pemerintah Indonesia.
Naskah COP26 versi pertama yang dirilis pada Rabu, 9 November 2021 memberi harapan besar pada berakhirnya ketergantungan pada batubara. Dalam naskah itu, negara-negara diminta "menghapus energi fosil". India dan China menyatakan keberatan dengan kata "menghapus batubara."Hingga revisi ketiga, naskah persetujuan masih menyebut, "termasuk usaha mempercepat penghapusan pembangkit listrik tenaga batubara dan subsidi inefisien pada bahan bakar fosil." Setelah revisi, naskah menjadi "panggilan kepada semua pihak untuk mempercepat pengembangan" energi bersih. Dalam naskah tersebut, kata "menghapus batubara" diganti menjadi "memperlambat secara bertahap batubara”.
Menjelang pelaksanaan COP26, Indonesia kembali menegaskan dukungannya terhadap keberhasilan COP26. Indonesia telah memiliki target-target yang akan dicapai terkait pengurangan emisi dan perubahan iklim. Salah satunya pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% (tanpa syarat dan dilakukan secara mandiri) dan 41% (dengan dukungan internasional) pada 2030. Dalam upaya pemenuhan target pengurangan emisi ini, pemerintah perlu mendapat dukungan dari semua pihak terutama dari perusahaan-perusahaan yang secara langsung proses produksinya terkait dengan emisi gas rumah kaca seperti perusahaan tambang.
Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Kebijakan Hijau dan Iklim Frans Timmermans, mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang sangat penting untuk COP26. Bukan hanya karena Indonesia akan memegang jabatan presidensi G-20 ke depan, tapi juga karena Indonesia di nilai menjadi salah satu negara yang telah membuat langkah-langkah besar dalam mengatasi masalah iklim.
Langkah-langkah Indonesia dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim kepada rakyat, diantaranya dengan mengurangi laju deforestasi terendah sepanjang sejarah, perhutanan sosial, TORA, rehabilitasi gambut dan mangrove, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta berbagai upaya nyata lainnya. Hal ini juga ditegaskan Presiden Jokowi dalam World Leaders’ Summit.
Dafpus :
https://www.indonesiare.co.id/id/article/mengenal-cop26-di-glasgow