ARGENTA EDISI 1 : Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia

Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia


ARGENTA (Argumen Teknik Kimia) edisi pertama mengambil tema ‘Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia’ yang dilakukan melalui wawancara kepada Mahasiswa Teknik Kimia UNS angkatan 2018 hingga 2021. Angkatan 2018 diwakili oleh Salsabila Ainun Nisa, 2019 oleh Dimas Rian Saputra, 2020 oleh Muhammad Darul Isnain, dan 2021 oleh Hananda Christy. Dalam ARGENTA kali ini, para responden menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan dengan pendapat yang beragam dan menarik untuk disimak. Berikut ulasan mengenai hasil wawancara yang telah dilakukan.

Membahas mengenai penyebab kelangkaan minyak goreng di Indonesia, tentu setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing. Menurut Dimas, hal tersebut terjadi karena naiknya harga CPO (Crude Palm Oil), dimana harga pasar dunia meningkat dari 1100 menjadi 1340 USD, keuntungan ini menarik keinginan produsen untuk mengekspor daripada menjual ke dalam negeri. Selain itu, ada juga faktor program B30 dimana mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% solar. Hal ini menyebabkan CPO yang seharusnya untuk minyak goreng, justru dialihkan untuk produksi biodiesel. Pendapat tersebut juga disetujui oleh Hananda dan Ainun. Hananda menambahkan, kondisi pandemi COVID-19 yang belum selesai juga menjadi salah satu penyebab yang sangat berpengaruh karena ada beberapa negara yang sedang mengalami gelombang ketiga COVID-19 serta konsumen luar negeri yang selama ini menggunakan minyak nabati mulai beralih ke CPO sehingga ada kenaikan permintaan di luar negeri terkait ekspor CPO. Sementara menurut Darul, ​penyebab kelangkaan minyak goreng karena ketidakmerataan distribusi minyak goreng dari pusat sehingga menyebabkan penyebaran minyak goreng tidak merata dan terjadi kelangkaan. Ainun kembali menambahkan alasannya karena terjadi permainan harga minyak goreng di pasaran sehingga proses distribusi penjualan minyak goreng tidak maksimal.


Saat ditanya mengenai alasan kelangkaan minyak goreng di Indonesia tidak merata, Ainun, Dimas, dan Hananda berpendapat hal itu terjadi karena adanya oknum yang memanfaatkan momen seperti ini dalam hal pendistribusian (mempermainkan harga) minyak goreng. Dugaannya, mereka melakukan penimbunan minyak goreng dalam jumlah besar. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dalam pendistribusian yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, ada juga panic buying yang menyebabkan semakin melangkanya minyak goreng pada wilayah tertentu di Indonesia. Alasan lainnya karena para pedagang telanjur membeli dari pemasok dengan harga yang tinggi tetapi setelah muncul HET (Harga Eceren Terendah) yang lebih murah tentu membuat penjualan dinilai menjadi mahal ketimbang nilai HET sehingga walaupun ketersediaannya masih mencukupi tetapi dipasaran tersedia dalam harga yang mahal. Darul juga setuju dengan pendapat tersebut. Ia menambahkan penggunaan CPO atau minyak kelapa sawit mentah dalam biodiesel ditingkatkan sementara pemanfaatan industri pangan justru menurun sejak tahun 2019-2021 sehingga produksi minyak goreng kelapa sawit menjadi turun. 


Sejauh ini, pemerintah sudah melakukan beberapa solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan seperti menaikkan pajak ekspor minyak goreng, relaksasi Kebijakan Biodisel 30 persen (B30), dan melakukan operasi pasar. Menurut Hananda, keberhasilan dari beberapa solusi tersebut sebesar 80% karena sudah sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Darul turut berpendapat keberhasilan yang terjadi sebesar 70% karena upaya-upaya tersebut cukup efektif dilakukan secepatnya untuk mengembalikan ketidaklangkaan minyak goreng kelapa sawit, mengingat minyak goreng menjadi salah satu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat setiap harinya. Sementara kekurangannya tergantung bagaimana keberlangsungan kebijakan tersebut serta halangan yang tidak terduga. Untuk solusi menaikkan pajak ekspor minyak goreng, menurutnya akan lebih baik jika mengurangi ekspor CPO maupun minyak goreng sehingga dapat dimanfaatkan untuk menangani masalah kelangkaan minyak goreng kelapa sawit dalam negeri. Ainun memberikan persentase yang berbeda. Ia berpendapat persentase keberhasilannya 50%:50%.Saya mendukung kebijkan dari pemerintah. Namun, menurut saya pribadi, alasan mengapa masih ada kemungkinan ketidakberhasilan karena panjangnya alur pendistribusian maupun regulasi perdagangan minyak goreng. Keberhasilan strategi ini tergantung pada implementasi di lapangan, apakah sudah tepat sasaran atau belum. Pemerintah juga seharusnya melakukan pengawasan yang ketat, contohnya pemberian subsidi atas minyak goreng curah harus tepat sasaran dan kegiatan pengawasan terhadap kebijakan terhadap perindustrian akan ekspor minyak goreng”, tambahnya. Sementara Dimas merinci persentase tiap solusi yang diberikan. Untuk solusi pertama ia memberikan persentase 50 karena dengan menaikkan harga pajak ekspor, tentunya akan mengurangi pasokan ekspor minyak ke luar negeri sehingga dapat meningkatkan pasokan ke dalam negeri dan solusi kedua dengan persentase 40 karena biodiesel juga penting untuk meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil yang kurang ramah lingkungan. Berbeda dengan 2 solusi sebelumnya, ia memberikan persentase 90 di solusi ketiga ini. Ia menganggap operasi pasar tidak memiliki sisi negatif karena operasi ini dilakukan untuk memberantas oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam pendistribusian minyak goreng. Jika ini dilakukan, maka walaupun harga minyak goreng masih tinggi, kelangkaan tetap dapat diminimalisir.

Hal terakhir yang ditanyakan dalam wawancara kali ini mengenai solusi yang tepat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak di Indonesia. “Persoalan distribusi pangan dan harga pangan yang sekarang ramai dibahas tentunya menjadi tanggung jawab bersama yakni antara pemerintah maupun produsen. Segala regulasi yang berkaitan dengan hal tersebut semestinya dibahas bersama dan tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar. Selain itu juga melakukan audit laporan perusahaan serta pengawasan harus dipertegas, terutama kepada kegiatan distribusi soal ekspor CPO hingga distribusi minyak goreng di dalam negeri”, ungkap Ainun. Sementara itu, Darul berpendapat “karena menurut saya faktor terbesar kelangkaan adalah berlangsungnya program biodiesel 30% (B30), maka solusi yang tepat menurut saya dengan mengembalikan program tersebut semula, sehingga dapat lebih fokus dalam produksi pangan (minyak goreng) dan dapat menaikkan jumlah produksi untuk minyak goreng kelapa sawit. Hal itu pun menyebabkan tidak perlunya menekan HET untuk menekan harga minyak goreng kelapa sawit karena dengan meningkatnya produksi minyak goreng kelapa sawit, maka kuantitas yang tersebar akan meningkat dan kelangkaan akan berkurang, menyebabkan harga akan kembali cenderung stabil Kembali. Solusi lain adalah dengan mengecek kembali bagaimana distribusi minyak goreng kelapa sawit di Indonesia dari produsen hingga ke tangan konsumen, apakah berlangsung dengan baik atau tidak? serta mengurangi jumlah ekspor CPO dan lebih fokus untuk menangani kelangkaan yang ada di dalam negara terlebih dahulu”. Dimas dan Hananda setuju dengan solusi yang diberikan oleh pemerintah. Mereka menambahkan solusi lain untuk lebih meningkatkan pengawasan dalam pendistribusian minyak goreng pada setiap daerah di Indonesia dan perlu komitmen dari pihak-pihak yang terlibat untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Operasi pasar harus digerakkan secara masif agar oknum tidak bertanggung jawab dapat segera diberantas. Sementara itu, penggunaan CPO untuk biodiesel dapat dikurangi dengan memanfaatkan biomassa lain yang telah dilakukan penelitian dari berbagai pihak mengenai potensi pemanfaatannya dalam pembuatan biodiesel.


 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Postingan Populer

Arsip Blog