MENENGOK MASA DEPAN PENDIDIKAN INDONESIA
Written by Akif Mahrus Ali
Sudah
satu tahun lebih pandemi COVID-19 menghantui seluruh dunia, tak terkecuali
negara kita tercinta Indonesia. Banyak hal yang terjadi di Indonesia selama
kurun waktu tersebut, mulai dari perekonomian Indonesia yang pasang-surut,
sektor pendidikan tercederai karena tidak bisa mengadakan pertemuan tatap muka,
kebijakan – kebijakan pemerintah Indonesia yang terkesan meremehkan ancaman
yang sebenarnya ada di depan mata, hingga kasus korupsi dana bantuan sosial
oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang menggemparkan seluruh masyarakat
Indonesia.
Mari
kali ini kita berfokus ke sektor pendidikan di Indonesia. Kita, mahasiswa,
tentu menjadi salah satu yang terdampak oleh pandemi ini. Kegiatan perkuliahan
tatap muka yang diubah menjadi pertemuan virtual atau dalam jaringan dan juga
penggunaan fasilitas kampus yang dibatasi, menjadikan mobilitas dan pemahaman
keilmuan mahasiswa menjadi terhambat. Memang tidak bisa dipungkiri, kebijakan
seperti ini bukan tanpa alasan, angka kasus positif COVID-19 yang terus meningkat
menjadikan keputusan ini sebagai satu satunya opsi untuk menekan penyebaran
kasus positif COVID-19.
Keputusan
yang dibuat tentu tidak hadir tanpa masalah, banyak mahasiswa yang mengeluhkan
kegiatan perkuliahan menjadi tidak efektif dan tidak memberikan hasil luaran
yang seharusnya dicapai oleh mahasiswa. Banyak dari mahasiswa pula yang merasa
jenuh dan lelah karena kegiatan perkuliahan dipenuhi dengan tugas – tugas yang
jauh lebih sering didapatkan dibanding ketika kegiatan perkuliahan tatap muka.
Hal ini menurut saya adalah hal yang wajar. Metode pembelajaran yang baru dan
dipaksa oleh keadaan, membuatnya menjadi metode pembelajaran yang tentu masih
memiliki banyak kekurangan di berbagai aspek. Namun, menurut saya hal ini
membuka kesempatan baru dalam membenahi dan memanfaatkan teknologi untuk
kegiatan pembelajaran yang lebih baik untuk Indonesia kedepannya.
Dengan
terbukanya akses pembelajaran dengan pemanfaatan teknologi seperti saat ini,
kemudahan pertukaran informasi antar negara menjadi lebih terlihat dibanding
saat – saat sebelum pandemi ini terjadi. Terlihat dari konferensi – konferensi
internasional yang semakin mudah dilaksanakan dan kegiatan pertukaran pelajar
yang semakin mudah untuk diakses pada saat ini. Hal ini membuat saya semakin
optimis bahwa dunia perkuliahan Indonesia di masa mendatang akan menjadi lebih
bebas dan memiliki ruang gerak yang tidak terbatas. Sesuai dengan perkataan
Menteri Kemdikbud Ristek, Pak Nadiem Makarim, terkait program Kampus Merdeka
yang dibawanya, bahwa program ini hanya bisa dilakukan jika ruang gerak tidak
dibatasi dan ekosistem tidak dibatasi. Semoga program – program seperti inilah
yang kedepannya mampu memunculkan ide – ide strategis lainnya untuk kemajuan
bangsa.
Saya
rasa metode pembelajaran dan pengajaran saat ini memang sudah sewajarnya
berubah. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran bukan lagi sebagai alternatif,
tapi suatu keharusan. Sebab, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
pengembangan kapasitas sumber daya pendidik perlu diatur sebaik-baiknya. Saya
rasa, jika hal ini dapat tercapai dengan baik, kita akan bersama – sama
menyaksikan masa depan pendidikan Indonesia yang kita dambakan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EVALUASI
KEBERJALANAN PROGRAM MERDEKA BELAJAR KAMPUS MERDEKA DALAM PERKULIAHAN
Written by Harry Pramudya Rivelino
Sudah 1 tahun lebih Kemdikbud
(sekarang Kemdikbud Ristek) meluncurkan program unggulan merdeka belajar. Salah
satu kebijakan yang paling dekat dan berpengaruh terhadap mahasiswa adalah
kebijakan kampus merdeka. Tak dipungkiri banyak pro kontra dalam program ini
karena saya akui secara ide, konsep, dan tujuannya sangat baik tetapi banyak
menimbulkan permasalahan dalam implementasi yang memang tidak mudah.
Mahasiswa perlu penguasaan kombinasi
disiplin ilmu ketika menekuni sebuah profesi. Program Kampus Merdeka
memungkinkan mahasiswa belajar di luar prodi dan mendapat pendidikan lintas
disiplin ilmu. Sebagai contoh, insinyur membutuhkan ilmu teknik sebagai ilmu
dasar dan ilmu desain sebagai ilmu pembeda. Mengerti bagaimana orang akan
menggunakan produk buatannya, menggunakan mesin buatannya. Program ini hanya
bisa dilakukan jika ruang gerak tidak dibatasi dan ekosistem tidak dibatasi.
Ini kata Pak Nadiem Makarim selaku Menteri Kemdikbud Ristek yang saya kutip
dari Kanal Youtube Kemdikbud RI.
Dari perkataan Pak Nadiem, ruang
gerak dan ekosistem perkuliahan lah yang akan menjadi garis bawah pembicaraan
kita saat ini.
Setiap Program Studi di UNS dan saya
yakin di seluruh Indonesia, pasti mempunyai indikator pencapaian sebagai syarat
kelulusan. Hal ini menjadi standardisasi kampus dalam pengembangan kompetensi
mahasiswanya. Saya sebagai mahasiswa Program Studi Teknik Kimia UNS misalnya,
perlu mencapai CPL (Capaian Pembelajaran Lulusan) yang telah dibebankan oleh
Program Studi agar bisa menjadi Sarjana Teknik. Hal ini tentu tidak bisa
disalahkan. Standardisasi memang perlu agar kampus dapat memastikan semua
lulusannya memenuhi kompetensi di bidang masing-masing. Akan tetapi, hal inilah
yang membatasi ruang gerak mahasiswa dan akan menjadi ekosistem yang kurang cocok
dalam pelaksanaan program kampus merdeka.
Masalah timbul ketika
program-program kampus merdeka yang dimanfaatkan oleh mahasiswa, tidak
berkaitan dengan bidang ilmunya, seperti contoh program mengambil mata kuliah
di program studi lain. Kegiatan tersebut tidak dapat membantu mahasiswa dalam
pencapaian indikator kelulusannya karena memang bidang ilmunya berbeda.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah
indikator pencapaian sebagai syarat kelulusan masih perlu dibebankan kepada
mahasiswa dalam pelaksanaan program kampus merdeka?
Tentunya pihak kampus sudah mengatur
lini masa perkuliahan mahasiswa dalam pencapaian indikator tersebut. Untuk
mahasiswa sarjana, seharusnya bisa menyelesaikan perkuliahan dan mencapai
indikator kelulusan dalam kurun waktu 4 tahun (terlepas dari segala hambatan
yang mungkin terjadi). Jika program kampus merdeka terus berjalan dan mahasiswa
tetap dibebankan oleh indikator kelulusan, program ini dapat sangat mengganggu
mahasiswa dalam mencapai indikator kelulusannya. Atau jika memang dipaksakan,
dengan perhitungan matematika yang sangat sederhana, tentu membutuhkan waktu
lebih dari 4 tahun untuk penyelesaian masa kuliah. Hal ini dapat menimbulkan
masalah baru seperti melonjaknya tingkat pengangguran pada usia produktif serta
masalah keuangan dalam pembayaran uang kuliah yang diperpanjang.
Jika dalam keberjalanan program
kampus merdeka ini tidak lagi digunakan indikator pencapaian lulusan, tentu
juga menjadi masalah. Kita tentu tidak ingin mahasiswa kedokteran yang akan
menjadi dokter-dokter muda tidak dapat menguasai seluruh ilmu kedokteran. Kita
tidak ingin mahasiswa hukum bingung saat menjadi hakim di pengadilan. Kita
tidak ingin pabrik yang akan dibangun oleh mahasiswa Teknik Kimia mengalami
kecelakaan karena saat menjadi mahasiswa lebih sering mengikuti program kampus
merdeka.
Tulisan saya ini sama sekali tidak
dapat dijadikan alasan dibubarkannya program kampus merdeka. Akan tetapi,
semoga menambah perspektif baru dalam evaluasi keberjalanan program ini yang
akan lebih memberikan manfaat untuk kita semua.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MENILIK SIKAP KRITIS MAHASISWA TERHADAP KEBIJAKAN KAMPUS DAN
PEMERINTAHAN DI MASA PANDEMI
Written by Nikmal Kevin Witjaksono
COVID-19
telah menyerang sebagian besar negara di dunia sejak diumumkan pertama kali di
Wuhan, China pada bulan November 2019 lalu. Penyebaran virus yang kian masif
mengakibatkan sejumlah negara melakukan lockdown
atau penutupan batas-batas negara untuk menghindari mobilisasi orang
keluar-masuk negara. Alih-alih melakukan lockdown,
Indonesia justru membuka perbatasan sebesar-besarnya untuk wisatawan
mancanegara.
Tanggal
2 Maret 2020 menjadi titik awal masuknya Covid-19 di Indonesia. Kasus Covid-19
mengalami peningkatan pada setiap harinya. Tingginya kasus Covid-19 berbanding
lurus dengan angka kematian kasus ini. Tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) Covid-19 Indonesia mencapai 2,7% hingga
Senin (21 Juni 2021)[[1]].
Persentase CFR Indonesia lebih tinggi dari global yang sebesar 2,2%. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya angka kematian tersebut seperti
kapasitas rumah sakit yang tidak dapat mengimbangi banyaknya kasus yang ada,
kurangnya alat pelindung diri yang dimiliki oleh tenaga medis, hingga jumlah testing dan tracing yang jauh di bawah standar dari WHO.
Sikap
abai dan terkesan meremehkan terhadap Covid-19 yang ditunjukkan oleh Pemerintah
Indonesia berakibat sangat fatal. Efek domino yang ditimbulkan oleh Covid-19
telah menjalar di berbagai sektor di Indonesia tanpa dapat dibendung oleh
pemerintah. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling terdampak atas
peraturan pemerintah yang dirasa masih kurang tegas. Diperlukan proses adaptasi
dari sistem Pendidikan luar jaringan ke dalam jaringan yang memakan waktu tidak
sebentar. Belum lagi ditambah masalah jaringan, bantuan kuota, dan gadget yang
turut membebani para mahasiswa. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)
merilis data hasil survei terkait pendidikan online di masa pandemi Covid-19. Hasil survei tersebut menunjukkan,
92% peserta didik mengalami banyak masalah dalam mengikuti pembelajaran daring
selama pandemi Covid-19 merebak.
Perguruan
tinggi dibuat bingung dalam pengambilan sikap terkait pembelajaran di masa
pandemi. Tidak ada pilihan lain bagi perguruan tinggi selain melanjutkan
pembelajaran secara dalam jaringan. Mahasiswa dan dosen dipaksa untuk
menggelontorkan sejumlah uang demi memenuhi kebutuhan pembelajaran. Para
pelajar acapkali mengeluh terkait banyaknya kuota internet yang dibutuhkan
untuk pembelajaran online. Tercatat
rata-rata pelajar membutuhkan 30 GB untuk pembelajaran online[[2]].
Bantuan kuota yang tak kunjung didapatkan membuat mahasiswa geram. Aspirasi dan
kritik terus dilayangkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Nadiem Makarim. Hingga pada bulan November, kritik yang dilayangkan
kepada mantan CEO Gojek itu menuai hasil. Bantuan kuota telah disalurkan kepada
27.305.495 nomor ponsel. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari keseluruhan
penerima. Sementara target penerima ada 59.543.090 yang terdiri dari 50.704.847
siswa, 3.424.176 guru, 5.156.850 mahasiswa, dan 257.217 dosen yang terdaftar
dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia[[3]].
Tidak berselang lama, perguruan
tinggi membuat keputusan yang memancing amarah mahasiswa. Uang Kuliah Tunggal
(UKT) yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tidak mengalami penurunan. Rektorat
justru tutup telinga saat dimintai klarifikasi oleh mahasiswa. Audiensi
berkali-kali tak kunjung menuai hasil. Perguruan tinggi hanya berdalih bahwa
total pengeluaran kebutuhan pembelajaran online
dan offline adalah sama dan adanya
transparansi dana kepada mahasiswa. Pagelaran “Universitas Nggawe Susah” menjadi puncak amarah mahasiswa terhadap
hal tersebut. Jika ditelisik kembali ke belakang, ekonomi Indonesia secara
merata mengalami penurunan. Tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor
formal yang memilih merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya. Total terdapat 1.010.579 orang pekerja yang terkena dampak ini,
sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dirumahkan dan 137.489 pekerja
diputuskan hubungan kerjanya dari 22.753 perusahaan. Sementara itu, jumlah
perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal adalah sebanyak 34.453
perusahaan serta 189.452 orang pekerja[[4]].
Dengan semangat perjuangan mahasiswa yang tak kenal lelah, akhirnya pihak
rektorat dan mahasiswa menyepakati bahwa diadakan bantuan bagi mahasiswa yang
belum mampu membayar UKT.
Polemik
di dunia Pendidikan terus berlanjut. Omnibus law yang sedang digodok oleh
pemerintah menuai reaksi keras dari mahasiswa karena dinilai sarat akan conflict of interest. Arogansi kekuasaan tampak jelas terlihat
dalam pengambilan keputusan dalam sektor ini. Aturan terkait pendidikan yang
diatur pada Pasal 65 paragraf 12 UU Omnibus Law Cipta Kerja tentang perizinan
pada sektor pendidikan yang dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. 'Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan
dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini,' tulis ayat (1) pada pasal dalam draf Omnibus Law Cipta
Kerja yang telah disahkan jadi undang-undang tersebut. 'Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan
pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah,' lanjut ayat (2). Sementara itu, Pasal 1 UU Cipta
Kerja menjelaskan Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada
pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa Pendidikan diperbolehkan menjadi sebuah
komoditas perdagangan[[5]].
Draf omnibus Law yang diduga mengandung
pasal komersialisasi Pendidikan di Indonesia telah terdengar oleh mahasiswa.
Mahasiswa mendesak DPR RI dan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan RUU
Omnibus karena dinilai merugikan kaum marginal Indonesia. Mahasiswa melalui BEM
Seluruh Indonesia secara konsisten menyampaikan kajian terkait kejanggalan UU
tersebut kepada DPR RI. Hingga Pada tanggal 24 September 2020, usaha yang
dilakukan oleh mahasiswa membuahkan hasil. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atau Kemendikbud resmi
mencabut klaster pendidikan dari Rancangan Undang-undang Cipta Kerja
setelah diputuskan bersama panitia kerja (panja) dalam rapat kerja pembahasan
RUU Cipta Kerja.
Tidak
berhenti disitu saja, mahasiswa beraliansi dengan elemen pekerja dibuat geram
saat UU Omnibus Law resmi disahkan oleh DPR RI. Sangat disayangkan DPR RI
seolah tidak mendengarkan aspirasi dari rakyat kecil. Beberapa pasal yang
menjadi sorotan para mahasiswa dan aliansi pekerja adalah sebagai berikut:
- Perubahan pasal 11 UU Pers
"Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada
perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat
mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal" Pengubahan pasal
ini berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers
pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh
pekerja pers hingga saat ini[[6]].
- Pasal 81 UU Omnibus Law
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah. Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
- Pasal 79 UU Omnibus Law
Hak pekerja mendapatkan hari libur
dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan
dipangkas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang
mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja
mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam
hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus
kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang
telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku setiap kelipatan
masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan
paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan
secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan
istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
- Pasal 88 UU Omnibus Law
Pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan[[7]].
- Perubahan Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH)
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku
pembakar hutan dan lahan, tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja.
Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.” Namun pemerintah menghapus ketentuan “Tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”.
- Pasal 91 UU Omnibus Law
Pasal 91 Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal
ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji
yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 93 Ayat 2 RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang
dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau
izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a). RUU ini juga
menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada
anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan
cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap
negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d);
melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan
melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Audiensi
yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap UU Omnibus Law terus menemui jalan
buntu. Keadaan tersebut memaksa mahasiswa Bersama buruh melakukan aksi
demonstrasi di depan Gedung DPR RI dan DPRD daerah serempak se-Indonesia. Walau
belum mendapatkan hasil yang diharapkan, mahasiswa telah melakukan tugasnya
sebagai perpanjangan tangan rakyat Indonesia untuk senantiasa mengkritik
kebijakan pemerintah.
Hidup
Mahasiswa!!!
Hidup Rakyat Indonesia!!!
[1] Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), 21 Juni 2021
[2] Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
[3] Pusat Data Dan Teknologi Informasi
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
[4] Kementerian Ketenagakerjaan
[5] CNN Indonesia. (03 Oktober 2020). Pasal Pendidikan di
Omnibus Law yang Dinilai Membingungkan. Diakses pada 03 Juli 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201006204736-20-555186/pasal-pendidikan-di-omnibus-law-yang-dinilai-membingungkan.
[6] Debora, Yantina. (5 Oktober 2020). Daftar Pasal Bermasalah dan
Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Diakses pada 04 Juli 2021, dari https://tirto.id/daftar-pasal-bermasalah-dan-kontroversi-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-f5AU
[7] Maharani, Tsarina. (03 November 2020). UU Cipta Kerja
Berlaku, Ini Pasal-pasal Kontroversial di Klaster Ketenagakerjaan. Diakses pada
04 Juli 2021, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10285541/uu-cipta-kerja-berlaku-ini-pasal-pasal-kontroversial-di-klaster-ketenagakerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.