PENTENA Edisi 1 HMTK FT UNS 2021

MENENGOK MASA DEPAN PENDIDIKAN INDONESIA

Written by Akif Mahrus Ali

            Sudah satu tahun lebih pandemi COVID-19 menghantui seluruh dunia, tak terkecuali negara kita tercinta Indonesia. Banyak hal yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu tersebut, mulai dari perekonomian Indonesia yang pasang-surut, sektor pendidikan tercederai karena tidak bisa mengadakan pertemuan tatap muka, kebijakan – kebijakan pemerintah Indonesia yang terkesan meremehkan ancaman yang sebenarnya ada di depan mata, hingga kasus korupsi dana bantuan sosial oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang menggemparkan seluruh masyarakat Indonesia.

            Mari kali ini kita berfokus ke sektor pendidikan di Indonesia. Kita, mahasiswa, tentu menjadi salah satu yang terdampak oleh pandemi ini. Kegiatan perkuliahan tatap muka yang diubah menjadi pertemuan virtual atau dalam jaringan dan juga penggunaan fasilitas kampus yang dibatasi, menjadikan mobilitas dan pemahaman keilmuan mahasiswa menjadi terhambat. Memang tidak bisa dipungkiri, kebijakan seperti ini bukan tanpa alasan, angka kasus positif COVID-19 yang terus meningkat menjadikan keputusan ini sebagai satu satunya opsi untuk menekan penyebaran kasus positif COVID-19.

            Keputusan yang dibuat tentu tidak hadir tanpa masalah, banyak mahasiswa yang mengeluhkan kegiatan perkuliahan menjadi tidak efektif dan tidak memberikan hasil luaran yang seharusnya dicapai oleh mahasiswa. Banyak dari mahasiswa pula yang merasa jenuh dan lelah karena kegiatan perkuliahan dipenuhi dengan tugas – tugas yang jauh lebih sering didapatkan dibanding ketika kegiatan perkuliahan tatap muka. Hal ini menurut saya adalah hal yang wajar. Metode pembelajaran yang baru dan dipaksa oleh keadaan, membuatnya menjadi metode pembelajaran yang tentu masih memiliki banyak kekurangan di berbagai aspek. Namun, menurut saya hal ini membuka kesempatan baru dalam membenahi dan memanfaatkan teknologi untuk kegiatan pembelajaran yang lebih baik untuk Indonesia kedepannya.

            Dengan terbukanya akses pembelajaran dengan pemanfaatan teknologi seperti saat ini, kemudahan pertukaran informasi antar negara menjadi lebih terlihat dibanding saat – saat sebelum pandemi ini terjadi. Terlihat dari konferensi – konferensi internasional yang semakin mudah dilaksanakan dan kegiatan pertukaran pelajar yang semakin mudah untuk diakses pada saat ini. Hal ini membuat saya semakin optimis bahwa dunia perkuliahan Indonesia di masa mendatang akan menjadi lebih bebas dan memiliki ruang gerak yang tidak terbatas. Sesuai dengan perkataan Menteri Kemdikbud Ristek, Pak Nadiem Makarim, terkait program Kampus Merdeka yang dibawanya, bahwa program ini hanya bisa dilakukan jika ruang gerak tidak dibatasi dan ekosistem tidak dibatasi. Semoga program – program seperti inilah yang kedepannya mampu memunculkan ide – ide strategis lainnya untuk kemajuan bangsa.

            Saya rasa metode pembelajaran dan pengajaran saat ini memang sudah sewajarnya berubah. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran bukan lagi sebagai alternatif, tapi suatu keharusan. Sebab, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pengembangan kapasitas sumber daya pendidik perlu diatur sebaik-baiknya. Saya rasa, jika hal ini dapat tercapai dengan baik, kita akan bersama – sama menyaksikan masa depan pendidikan Indonesia yang kita dambakan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

EVALUASI KEBERJALANAN PROGRAM MERDEKA BELAJAR KAMPUS MERDEKA DALAM PERKULIAHAN

Written by Harry Pramudya Rivelino

Sudah 1 tahun lebih Kemdikbud (sekarang Kemdikbud Ristek) meluncurkan program unggulan merdeka belajar. Salah satu kebijakan yang paling dekat dan berpengaruh terhadap mahasiswa adalah kebijakan kampus merdeka. Tak dipungkiri banyak pro kontra dalam program ini karena saya akui secara ide, konsep, dan tujuannya sangat baik tetapi banyak menimbulkan permasalahan dalam implementasi yang memang tidak mudah.

Mahasiswa perlu penguasaan kombinasi disiplin ilmu ketika menekuni sebuah profesi. Program Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa belajar di luar prodi dan mendapat pendidikan lintas disiplin ilmu. Sebagai contoh, insinyur membutuhkan ilmu teknik sebagai ilmu dasar dan ilmu desain sebagai ilmu pembeda. Mengerti bagaimana orang akan menggunakan produk buatannya, menggunakan mesin buatannya. Program ini hanya bisa dilakukan jika ruang gerak tidak dibatasi dan ekosistem tidak dibatasi. Ini kata Pak Nadiem Makarim selaku Menteri Kemdikbud Ristek yang saya kutip dari Kanal Youtube Kemdikbud RI.

Dari perkataan Pak Nadiem, ruang gerak dan ekosistem perkuliahan lah yang akan menjadi garis bawah pembicaraan kita saat ini.

Setiap Program Studi di UNS dan saya yakin di seluruh Indonesia, pasti mempunyai indikator pencapaian sebagai syarat kelulusan. Hal ini menjadi standardisasi kampus dalam pengembangan kompetensi mahasiswanya. Saya sebagai mahasiswa Program Studi Teknik Kimia UNS misalnya, perlu mencapai CPL (Capaian Pembelajaran Lulusan) yang telah dibebankan oleh Program Studi agar bisa menjadi Sarjana Teknik. Hal ini tentu tidak bisa disalahkan. Standardisasi memang perlu agar kampus dapat memastikan semua lulusannya memenuhi kompetensi di bidang masing-masing. Akan tetapi, hal inilah yang membatasi ruang gerak mahasiswa dan akan menjadi ekosistem yang kurang cocok dalam pelaksanaan program kampus merdeka.

Masalah timbul ketika program-program kampus merdeka yang dimanfaatkan oleh mahasiswa, tidak berkaitan dengan bidang ilmunya, seperti contoh program mengambil mata kuliah di program studi lain. Kegiatan tersebut tidak dapat membantu mahasiswa dalam pencapaian indikator kelulusannya karena memang bidang ilmunya berbeda.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah indikator pencapaian sebagai syarat kelulusan masih perlu dibebankan kepada mahasiswa dalam pelaksanaan program kampus merdeka?

Tentunya pihak kampus sudah mengatur lini masa perkuliahan mahasiswa dalam pencapaian indikator tersebut. Untuk mahasiswa sarjana, seharusnya bisa menyelesaikan perkuliahan dan mencapai indikator kelulusan dalam kurun waktu 4 tahun (terlepas dari segala hambatan yang mungkin terjadi). Jika program kampus merdeka terus berjalan dan mahasiswa tetap dibebankan oleh indikator kelulusan, program ini dapat sangat mengganggu mahasiswa dalam mencapai indikator kelulusannya. Atau jika memang dipaksakan, dengan perhitungan matematika yang sangat sederhana, tentu membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun untuk penyelesaian masa kuliah. Hal ini dapat menimbulkan masalah baru seperti melonjaknya tingkat pengangguran pada usia produktif serta masalah keuangan dalam pembayaran uang kuliah yang diperpanjang.

Jika dalam keberjalanan program kampus merdeka ini tidak lagi digunakan indikator pencapaian lulusan, tentu juga menjadi masalah. Kita tentu tidak ingin mahasiswa kedokteran yang akan menjadi dokter-dokter muda tidak dapat menguasai seluruh ilmu kedokteran. Kita tidak ingin mahasiswa hukum bingung saat menjadi hakim di pengadilan. Kita tidak ingin pabrik yang akan dibangun oleh mahasiswa Teknik Kimia mengalami kecelakaan karena saat menjadi mahasiswa lebih sering mengikuti program kampus merdeka.

Tulisan saya ini sama sekali tidak dapat dijadikan alasan dibubarkannya program kampus merdeka. Akan tetapi, semoga menambah perspektif baru dalam evaluasi keberjalanan program ini yang akan lebih memberikan manfaat untuk kita semua.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MENILIK SIKAP KRITIS MAHASISWA TERHADAP KEBIJAKAN KAMPUS DAN PEMERINTAHAN DI MASA PANDEMI

Written by Nikmal Kevin Witjaksono

COVID-19 telah menyerang sebagian besar negara di dunia sejak diumumkan pertama kali di Wuhan, China pada bulan November 2019 lalu. Penyebaran virus yang kian masif mengakibatkan sejumlah negara melakukan lockdown atau penutupan batas-batas negara untuk menghindari mobilisasi orang keluar-masuk negara. Alih-alih melakukan lockdown, Indonesia justru membuka perbatasan sebesar-besarnya untuk wisatawan mancanegara.

Tanggal 2 Maret 2020 menjadi titik awal masuknya Covid-19 di Indonesia. Kasus Covid-19 mengalami peningkatan pada setiap harinya. Tingginya kasus Covid-19 berbanding lurus dengan angka kematian kasus ini. Tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) Covid-19 Indonesia mencapai 2,7% hingga Senin (21 Juni 2021)[[1]]. Persentase CFR Indonesia lebih tinggi dari global yang sebesar 2,2%. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya angka kematian tersebut seperti kapasitas rumah sakit yang tidak dapat mengimbangi banyaknya kasus yang ada, kurangnya alat pelindung diri yang dimiliki oleh tenaga medis, hingga jumlah testing dan tracing yang jauh di bawah standar dari WHO.

Sikap abai dan terkesan meremehkan terhadap Covid-19 yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia berakibat sangat fatal. Efek domino yang ditimbulkan oleh Covid-19 telah menjalar di berbagai sektor di Indonesia tanpa dapat dibendung oleh pemerintah. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling terdampak atas peraturan pemerintah yang dirasa masih kurang tegas. Diperlukan proses adaptasi dari sistem Pendidikan luar jaringan ke dalam jaringan yang memakan waktu tidak sebentar. Belum lagi ditambah masalah jaringan, bantuan kuota, dan gadget yang turut membebani para mahasiswa. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis data hasil survei terkait pendidikan online di masa pandemi Covid-19. Hasil survei tersebut menunjukkan, 92% peserta didik mengalami banyak masalah dalam mengikuti pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 merebak.

Perguruan tinggi dibuat bingung dalam pengambilan sikap terkait pembelajaran di masa pandemi. Tidak ada pilihan lain bagi perguruan tinggi selain melanjutkan pembelajaran secara dalam jaringan. Mahasiswa dan dosen dipaksa untuk menggelontorkan sejumlah uang demi memenuhi kebutuhan pembelajaran. Para pelajar acapkali mengeluh terkait banyaknya kuota internet yang dibutuhkan untuk pembelajaran online. Tercatat rata-rata pelajar membutuhkan 30 GB untuk pembelajaran online[[2]]. Bantuan kuota yang tak kunjung didapatkan membuat mahasiswa geram. Aspirasi dan kritik terus dilayangkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim. Hingga pada bulan November, kritik yang dilayangkan kepada mantan CEO Gojek itu menuai hasil. Bantuan kuota telah disalurkan kepada 27.305.495 nomor ponsel. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari keseluruhan penerima. Sementara target penerima ada 59.543.090 yang terdiri dari 50.704.847 siswa, 3.424.176 guru, 5.156.850 mahasiswa, dan 257.217 dosen yang terdaftar dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia[[3]].

Tidak berselang lama, perguruan tinggi membuat keputusan yang memancing amarah mahasiswa. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tidak mengalami penurunan. Rektorat justru tutup telinga saat dimintai klarifikasi oleh mahasiswa. Audiensi berkali-kali tak kunjung menuai hasil. Perguruan tinggi hanya berdalih bahwa total pengeluaran kebutuhan pembelajaran online dan offline adalah sama dan adanya transparansi dana kepada mahasiswa. Pagelaran “Universitas Nggawe Susah” menjadi puncak amarah mahasiswa terhadap hal tersebut. Jika ditelisik kembali ke belakang, ekonomi Indonesia secara merata mengalami penurunan. Tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal yang memilih merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya. Total terdapat 1.010.579 orang pekerja yang terkena dampak ini, sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dirumahkan dan 137.489 pekerja diputuskan hubungan kerjanya dari 22.753 perusahaan. Sementara itu, jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal adalah sebanyak 34.453 perusahaan serta 189.452 orang pekerja[[4]]. Dengan semangat perjuangan mahasiswa yang tak kenal lelah, akhirnya pihak rektorat dan mahasiswa menyepakati bahwa diadakan bantuan bagi mahasiswa yang belum mampu membayar UKT.

Polemik di dunia Pendidikan terus berlanjut. Omnibus law yang sedang digodok oleh pemerintah menuai reaksi keras dari mahasiswa karena dinilai sarat akan conflict of interest. Arogansi kekuasaan tampak jelas terlihat dalam pengambilan keputusan dalam sektor ini. Aturan terkait pendidikan yang diatur pada Pasal 65 paragraf 12 UU Omnibus Law Cipta Kerja tentang perizinan pada sektor pendidikan yang dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. 'Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,' tulis ayat (1) pada pasal dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan jadi undang-undang tersebut. 'Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah,' lanjut ayat (2). Sementara itu, Pasal 1 UU Cipta Kerja menjelaskan Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pendidikan diperbolehkan menjadi sebuah komoditas perdagangan[[5]].

Draf omnibus Law yang diduga mengandung pasal komersialisasi Pendidikan di Indonesia telah terdengar oleh mahasiswa. Mahasiswa mendesak DPR RI dan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan RUU Omnibus karena dinilai merugikan kaum marginal Indonesia. Mahasiswa melalui BEM Seluruh Indonesia secara konsisten menyampaikan kajian terkait kejanggalan UU tersebut kepada DPR RI. Hingga Pada tanggal 24 September 2020, usaha yang dilakukan oleh mahasiswa membuahkan hasil. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud resmi mencabut klaster pendidikan dari Rancangan Undang-undang Cipta Kerja setelah diputuskan bersama panitia kerja (panja) dalam rapat kerja pembahasan RUU Cipta Kerja.

Tidak berhenti disitu saja, mahasiswa beraliansi dengan elemen pekerja dibuat geram saat UU Omnibus Law resmi disahkan oleh DPR RI. Sangat disayangkan DPR RI seolah tidak mendengarkan aspirasi dari rakyat kecil. Beberapa pasal yang menjadi sorotan para mahasiswa dan aliansi pekerja adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan pasal 11 UU Pers

"Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal" Pengubahan pasal ini berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini[[6]].

  1. Pasal 81 UU Omnibus Law

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah. Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. 

  1. Pasal 79 UU Omnibus Law

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku setiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

  1. Pasal 88 UU Omnibus Law

Pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan[[7]]. 

  1. Perubahan Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan, tetapi pemerintah menghapusnya di RUU Cipta Kerja. Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Namun pemerintah menghapus ketentuan “Tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”.

  1. Pasal 91 UU Omnibus Law

Pasal 91 Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 93 Ayat 2 RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a). RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).

Audiensi yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap UU Omnibus Law terus menemui jalan buntu. Keadaan tersebut memaksa mahasiswa Bersama buruh melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI dan DPRD daerah serempak se-Indonesia. Walau belum mendapatkan hasil yang diharapkan, mahasiswa telah melakukan tugasnya sebagai perpanjangan tangan rakyat Indonesia untuk senantiasa mengkritik kebijakan pemerintah.

Hidup Mahasiswa!!!

Hidup Rakyat Indonesia!!!

 


 

 

           



[1] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 21 Juni 2021

[2] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

[3] Pusat Data Dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

[4] Kementerian Ketenagakerjaan

[5] CNN Indonesia. (03 Oktober 2020). Pasal Pendidikan di Omnibus Law yang Dinilai Membingungkan. Diakses pada 03 Juli 2021, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201006204736-20-555186/pasal-pendidikan-di-omnibus-law-yang-dinilai-membingungkan.

[6] Debora, Yantina. (5 Oktober 2020). Daftar Pasal Bermasalah dan Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Diakses pada 04 Juli 2021, dari https://tirto.id/daftar-pasal-bermasalah-dan-kontroversi-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-f5AU

[7] Maharani, Tsarina. (03 November 2020). UU Cipta Kerja Berlaku, Ini Pasal-pasal Kontroversial di Klaster Ketenagakerjaan. Diakses pada 04 Juli 2021, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10285541/uu-cipta-kerja-berlaku-ini-pasal-pasal-kontroversial-di-klaster-ketenagakerjaan.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Postingan Populer

Arsip Blog