Material perovskite merupakan senyawa organik-inorganik halida berstruktur ABX3 dimana A merupakan inorganik kation, B merupakan logan kation dan X adalah anion. Struktur senyawa perovskite ini menghasilkan energi band gap yang kecil sehingga dapat dijadikan sebagai penyerap cahaya matahari (absorber). Bagian yang paling berperan penting dalam konversi cahaya matahari menjadi energi listrik pada sel surya adalah absorber atau lapisan aktif. Absorber berperan sebagai penyerap atau pengumpul foton-foton dari cahaya matahari. Untuk mencapai efisiensi yang tinggi pada sel surya maka dibutuhkan absorber yang mampu menyerap foton cahaya matahari sebanyak mungkin. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan penggunaan material dengan celah pita energi rendah seperti MAPbI3 (Ma & Li, 2018). MAPbI3 merupakan material perovskite organik-anorganik halida yang memiliki potensi sebagai bahan absorber pada sel surya (Choi et al., 2014). Selain itu, material seperti CaTiO3 adalah material dengan struktur perovskite yang dapat digunakan pula.
Basis teknologi sel surya
perovskite ini adalah sel surya padat (solid-state) yang merupakan
pengembangan dari sel surya DSSC yang pertama kali dilaporkan oleh O'Regan dan
Grätzel pada tahun 1991 (Park, 2015). Pada 2019, Kojima menggunakan MAPbI3
(CH3NH3PbI3) untuk menggantikan pewarna organik pada DSSC untuk pertama kalinya
dan menghasilkan efisiensi konversi daya sebesar 3,8%. Oleh karena itu, dengan
melihat potensi yang dimiliki oleh material perovskite maka MAPbI3 dan CaTiO3 dapat digunakan sebagai material absorber pada aplikasi sel
surya.
Gambar 1. Gambar Sel Surya Perovskite
Mekanisme
kerja sel surya perovskite melibatkan absorpsi cahaya, fotoeksitasi elektron
(proses 1), generasi pembawa muatan, ekstraksi pembawa muatan (transfer dan
transport pembawa muatan, (proses 2), dan pengumpulan pembawa muatan (proses 3)
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 (Xu et al., 2015). Ketika deviasi sel
surya perovskite disinari dengan cahaya matahari, maka absorber akan
menyerap cahaya tersebut (proses absorpsi cahaya). Selanjutnya elektron pada absorber
yang mendapatkan energi yang cukup dari foton akan tereksitasi dari pita
valensi absorber ke pita konduksi absorber (fotoeksitasi
elektron) dan diikuti dengan proses pembentukan pembawa muatan elektron dan hole
(generasi pembawa muatan).
Gambar 2. Skema mekanisme kerja sel
surya perovskite
Selanjutnya
elektron akan ditransfer ke pita konduksi ETL dan kemudian dikumpulkan di
elektroda negatif/katoda (koleksi pembawa muatan). Sementara hole akan
ditransfer ke pita valensi HTL dan dikumpulkan di elektroda positif/anoda. Pengumpulan pembawa muatan negatif di katoda
dan pembawa muatan positif di anoda ini menyebabkan level Fermi katoda dan fungsi
kerja anoda mengalami pergeseran dan mengakibatkan beda potensial yang
signifikan antara kedua elektroda tersebut.
Oleh karena adanya beda potensial ini, maka elektron akan mengalir ke
rangkaian luar menjadi arus listrik.
Jika tidak ada rekombinasi pasangan elektron lubang, injeksi muatan dari
lapisan absorber perovskite ke material penghantar elektron dan hole akan berlangsung
pada antar muka absorber/ETL dan absorber/HTL (Sharmoukh et al.,
2020).
Berikut disajikan
data perbedaan antara sel perovskite dibanding sel surya silikon.
Fitur |
Sel
Surya Perovskite |
Sel
Surya Silikon |
Material |
Tersusun dari
campuran bahan organik dan anorganik, seperti metilammonium timah iodida
(MAPbI3). |
Terutama
menggunakan silikon sebagai material semikonduktor. |
Cara Kerja |
Menyerap cahaya
dan menghasilkan arus listrik melalui proses fotovoltaik hibrida, yang
melibatkan interaksi antara bahan organik dan anorganik. |
Menyerap cahaya
dan menghasilkan arus listrik melalui proses eksitonik, di mana elektron dan
lubang terikat dalam silikon terlepas dan menghasilkan muatan bebas. |
Efisiensi
Konversi Energi |
Potensi lebih
tinggi (>25%) |
Tinggi (hingga
25%) |
Biaya Produksi |
Berpotensi
lebih murah |
Relatif mahal |
Stabilitas dan
Ketahanan Lama |
Masih dalam
pengembangan, perlu penelitian lebih lanjut |
Sudah teruji
dan tahan lama |
Skalabilitas
dan Produksi Massal |
Belum
diproduksi massal |
Sudah
diproduksi massal |
Keramahan
Lingkungan |
Tergantung pada
material yang digunakan |
Silikon
merupakan material yang berlimpah |
Fleksibilitas
dan Aplikasi |
Berpotensi
lebih fleksibel dan ringan |
Kaku dan berat |
Tabel 1. Data Perbedaan Antara Sel Perovskite Dibanding Sel Surya Silikon
Keunggulan sel surya perovskite sebagai generasi ketiga yaitu lebih tinggi dibanding generasi pertama dan generasi kedua. Sel surya perovskite bekerja lebih baik pada temperatur tinggi karena mobilitas muatan meningkat ketika temperatur sel surya lebih tinggi. Karena sifatnya yang ringan dan lentur maka penerapannya lebih luas dan bisa diterapkan untuk kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh sel surya silikon. Efisiensi dari sel surya perovskite sebesar 26% lebih tinggi dibanding generasi pertama yang masih memiliki efisiensi sebesar 6% dan generasi kedua efisiensinya sekitar 17% (Setyawan, L., B.,2018)..
Material perovskite organik-inorganik halida ini juga memiliki koefisien absorbsi yang lebih besar dibanding sel surya lain sehingga dapat menyerap lebih banyak cahaya matahari. Panjang difusi yang besar dan energi ikat yang rendah juga menjadi kelebihan lain dari sel surya perovskite ini (Saraswati, E., M., D., dkk,2015).
Langkah awal sintesis sel surya perovskite,
yaitu pembuatan sampel yang terdiri dari sintesis TiO2 (TTIP)
sebagai ETL, TTIP ke atas kaca ITO dengan menggunakan metode spin coating,
pembuatan perovskite sebagai lapisan absorber, pembuatan Spiro-OMeTAD
sebagai HTL, penyusunan sel surya perovskite, dan karakterisasi.
Gambar 3. Lapisan Sel Surya yang Dibentuk
oleh Prosedur Pembuatan Sampel
1. 1. Sintesis TiO2 (TTIP)
Pembuatan TiO2 ini dibuat
menggunakan precursor titanium tetraisopropoxide (TTIP), propanol, asam asetat
(CH3COOH), dan Triton X-100. Tahapan dalam proses ini dibagi menjadi
2. Tahap satu dengan pencampuran titanium tetraisopropoxide (TTIP) 10 ml dengan
propanol 40 ml lalu diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
putaran sebesar 5000 rpm selama 30 menit. Tahap dua dimulai dengan pencampuran
asam asetat (CH3COOH) sebanyak 5 ml dengan propanol sebanyak 10 mL dan
diteteskan oleh Triton x-100 sebanyak 15 tetes dan diaduk menggunakan magnetic
stirrer selama 30 menit. Selanjutnya menggabungkan hasil dari tahap 1 ke
tahap 2 dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
putaran sebesar 5000 rpm selama 120 menit sampai berbentuk pasta.
2.
2. Deposisi Lapisan Film Tipis TiO2
Pasta TiO2 yang telah disiapkan kemudian dioleskan pada bagian atas substrat ITO sampai tersebar merata pada permukaan subtrat, digunakan metode spin coating. Ketebalan divariasikan menggunakan metode ini dengan memvariasikan banyaknya nilai putaran rpm yang digunakan pada setiap sampel. Setelahnya, dilakukan tahap sintering menggunakan furnace yang dipanaskan pada suhu 4000°C selama 30 menit. Film tipis TiO2 yang sudah selesai di sintering kemudian diukur menggunakan mikrometer sekrup digital untuk diukur ketebalannya.
3.
3. Sintesis Perovskite CH3NH3PbI3
Pembuatan perovskite ini dibuat menggunakan
bahan Methylammonium Iodide (MAI), lead (II) Iodide (PbI2), Dimetil
Formide (DMF), dan Dimetil Sulfokside (DMSO). Tahapan yang dilakukan adalah dengan
menimbang bahan kering Methylammonium Iodide (MAI) sebanyak 190,7 mg dan PbI2
sebanyak 553,2 mg kemudian ditambahkan bahan pelarut yaitu Dimetil Formide
(DMF) sebanyak 100 μl dan Dimetil Sulfokside (DMSO) sebanyak 900 μl ke dalam
botol sampel. Lalu, diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
putaran sebesar 5000 rpm selama 2 jam sampai terlarut.
4. \ 4. Preparasi Pembuatan Sel Surya Perovskite
Film tipis TiO2 yang sudah selesai di sintering kemudian ditempelkan selotip heat resistant tape dengan ukuran 1x1 cm2 di atas substrat ITO untuk melakukan deposisi perovskite. Meneteskan 1 tetes (8 μl) perovskite ke atas film tipis TiO2 menggunakan metode spin coating dua langkah, dengan langkah pertama adalah 40 detik dengan putaran 2000 rpm dan tahap spin coating kedua selama 20 detik dengan putaran 6000 rpm. Lalu, di sintering menggunakan oven pada suhu 1000°C selama 10 menit lalu diamkan. Setelah itu melakukan deposisi untuk lapisan Spiro-OMeTAD dengan meneteskan 1 tetes (8 μl) Spiro-OMeTAD ke atas film tipis ITO-TiO2-perovskite, menggunakan metode spin coating dua langkah, lalu di sintering menggunakan oven pada suhu 100°C selama 10 menit untuk selanjutnya dilakukan karakterisasi (Rastiadi, H., A., Suhendi, E., & Prima, E., C.,2023).
Sel surya perovskite memiliki potensi besar
untuk menjadi solusi utama dalam pemanfaatan energi terbarukan di masa depan.
Dengan efisiensi konversi energi yang sudah mencapai lebih dari 25%, teknologi
ini menjanjikan peningkatan kinerja yang signifikan dibandingkan dengan sel
surya silikon konvensional. Selain itu, biaya produksi yang lebih rendah dan
nyaman dalam aplikasi memungkinkan sel surya perovskit untuk digunakan dalam
berbagai kebutuhan, termasuk perangkat elektronik portabel dan instalasi di
permukaan yang tidak konvensional. Dalam jangka panjang, dengan peningkatan
stabilitas dan ketahanan material melalui penelitian dan pengembangan lebih
lanjut, sel surya perovskit diharapkan dapat diproduksi secara massal dan
menjadi komponen kunci dalam transisi global menuju sumber energi yang lebih
bersih dan berkelanjutan. Peningkatan kemampuan produksi dan penurunan biaya
akan membuat teknologi ini semakin terjangkau dan menarik bagi masyarakat luas,
membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menurunkan emisi
karbon secara signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.