[BUTENA 3] Nikel dan Batu Bara, Benarkah 'Berharga’ Sepadan?

    Sumber daya alam Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, di antaranya adalah nikel dan batubara. Kedua komoditas ini tidak hanya menjadi kebanggaan negeri ini, tetapi juga menjadi pilar utama dalam industri pertambangan dan ekonomi nasional. Nikel, dengan kualitasnya yang tinggi, telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar di dunia. Nikel sangat berharga karena kelenturannya dalam produksi baja tahan karat dan sifat tahan korosi serta mampu menghantarkan listrik dengan baik dalam baterai membuat permintaan produksinya terus meningkat. Begitu pula dengan batubara, yang menjadi salah satu komponen utama dalam campuran energi nasional, terus menjadi kontributor signifikan terhadap keamanan energi Indonesia dan pendapatan ekspor. Namun, di balik kekayaannya yang melimpah, tantangan berkelanjutan terkait pemanfaatannya secara terus-menerus dan perlindungan lingkungan tetap menjadi fokus penting dalam mengelola sumber daya alam yang berharga ini.
    Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Badan Energi Internasional memprediksi peningkatan produksi nikel dunia mencapai sedikitnya 65% pada 2030, didorong oleh kebutuhan material baterai kendaraan listrik. Indonesia diperkirakan bakal memenuhi dua-pertiga kebutuhan dunia. Akan tetapi, pengamat menilai masalah lingkungan di kawasan tambang, baik nikel maupun lainnya, masih menjadi pekerjaan rumah di dalam negeri. Salah satu contohnya yaitu kondisi perairan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang dekat dengan pabrik smelter nikel.
    Untuk bisa menambang nikel, perusahaan-perusahaan tambang harus membersihkansuatu kawasan besar dengan menebang semua pohon di sana. Selanjutnya lubang besar akan digali atau yang biasa disebut open pit. Karena tidak ada lagi akar-akar pohon di kawasan itu, tanah menjadi tidak stabil dan mudah mengalami longsor ketika hujan deras melanda. Data pemerintah menunjukkan terjadi setidaknya 21 banjir dan longsor di Sulawesi Tenggara sepanjang 2022. Padahal, antara 2005 dan 2008, sebelum izin sejumlah tambang diberikan, hanya terjadi dua hingga tiga insiden serupa per tahun, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Adanya sedimentasi lumpur nikel yang mengalir ke laut dan mengubur terumbu karang, menambah kekhawatiran pegiat lingkungan di sana. Hal ini mengakibatkan banyak warga kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan dan pengelola wisata bawah laut. Ikan yang sulit dijumpai, terumbu karang yang tertutupi sedimen, dan air yang terlihat keruh merupakan sumber hilangnya mata pencaharian mereka. Bahkan, hal ini juga mengancam keberadaan kerang raksasa yaitu “Kima” yang berhabitat dan dikonservasi di sana (Baraputri, 2023).
    Berdasarkan hasil analisis air laut dan sedimen di Perairan Desa Tapuemea, Kabupaten Konawe Utara, pada bulan April 2019 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkat pencemaran yang signifikan akibat kandungan logam berat nikel yang melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh KMNKLH No. 51 Tahun 2004. Kadar kandungan nikel dalam sedimen berkisar antara 0,76 - 9,72 ppm, melebihi ambang batas standar internasional. Sementara kadar nikel dalam air laut berkisar antara 0,04 - 0,23 ppm, juga melebihi ambang batas yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa Perairan Desa Tapuemea telah sangat tercemar dan tidak sesuai untuk kehidupan organisme perairan. Dengan adanya kandungan logam berat yang tinggi dalam air laut dan sedimen, terdapat potensi risiko bagi ekosistem perairan dan kesehatan manusia yang bergantung pada sumber daya laut (Wali, 2020).
    Nikel adalah unsur yang penting dalam beberapa fungsi biologis tubuh manusia dalam jumlah yang sangat kecil, paparan berlebihan terhadap nikel dapat menyebabkan masalah kesehatan. Beberapa orang mengalami alergi nikel, yang dapat menyebabkan reaksi kulit seperti dermatitis kontak. Paparan polusi udara yang dihasilkan smelter nikel juga memberikan dampak buruk pada sistem pernapasan masyarakat. Paparan polusi udara tersebut berkemungkinan besar menyebabkan beberapa penyakit, seperti ISPA, asma, diabetes, hingga stroke. Ini juga yang meningkatkan risiko seseorang meninggal akibat polusi udara (Green Media, 2023). Data CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air) melaporkan, potensi pada 2025 akan ada 3.766 kematian dini karena smelter nikel. Lalu, angkanya naik di 2030 sampai dengan 5.000 kematian (Baraputri, 2023). 
    Sumber masalah tidak hanya muncul dari industri pertambangannya saja, tetapi dalam proses pengolahan material tambang tersebut pun juga memberikan dampak serius bagi lingkungan di sekitarnya. Seperti yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kualitas udara di sana terus memburuk tiap tahunnya. Lembaga independen yang melakukan penelitian soal polusi udara, CREA, menyebutkan pencemaran lintas batas dari Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kontributor utama pencemaran udara di Kota Jakarta. Yang paling tinggi berasal dari sektor industri energi pembangkit listrik dan manufaktur. Hingga Agustus 2023, setidaknya ada 16 PLTU berbasis batubara yang berada tak jauh dari Jakarta. Sebarannya sebanyak 10 PLTU berlokasi di Banten, sedangkan enam lainnya di Jawa Barat. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lingkungan di sana mengklaim abu dari hasil pembakaran batubara tak dikelola dengan baik padahal lokasinya dekat permukiman masyarakat. Pada akhir tahun 2022 misalnya, warga mengeluhkan adanya pencemaran debu batubara yang disebut berasal dari sebuah perusahaan (Author 2 BBC, 2023). 
    Banyak warga yang terkena langsung dampak polusi yang disebabkan oleh PLTU, contohnya yaitu warga yang tinggal di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Lontar di wilayah utara Kabupaten Tangerang, Banten. Mereka harus menampung air untuk dipakai mandi hingga kebutuhan konsumsi. Akan tetapi, air tampungan itu tidak bisa lagi digunakan lantaran air hujan yang turun ke atap-atap rumah warga menghitam tercampur partikel yang diduga dari dampak aktifitas PLTU. Asap hitam pekat juga kerap hadir di kampung mereka, yang biasanya terjadi dalam kurun beberapa bulan di waktu perbaikan alat-alat di PLTU. Selain itu, dampak nyata dari keberadaan PLTU adalah udara di sekitar kawasan menjadi lebih panas menyengat dibanding wilayah-wilayah lain. Warga lainnya yang tinggal di sekitar PLTU Banten, Sukandara, mengatakan bahwa dampak paling nyata dari keberadaan pembangkit batubara itu adalah penyakit kulit. Sebabnya air sehari-hari yang dipakai terkena cemaran dari batubara yang jatuh dari kapal tongkang (Author 2 BBC, 2023). Contoh lain yaitu polusi udara yang ditimbulkan PLTU Suralaya di Provinsi Banten disebut berkontribusi pada ribuan angka kematian. Dalam riset terbaru yang dikeluarkan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), polusi PLTU batu bara itu menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun dan menimbulkan kerugian kesehatan hingga Rp14,2 triliun. Sebelumnya, Dinas Kesehatan Kota Cilegon mencatat ada 17.382 warga di wilayahnya yang mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dari Januari 2023-Juni 2023, di mana salah satu lokasi terbanyak berada di Puskesmas Pulomerak sebanyak 3.274 kasus. Dalam penelitian CREA terbaru, disebutkan bahwa kawasan PLTU Suralaya di Banten merupakan daerah yang sangat tercemar. Dengan menggunakan metode Base Scenario (mengukur konsentrasi gas buang polutan untuk unit yang ada- existing), rata-rata konsentrasi partikulat PM2.5 dari hasil pembakaran batu bara di PLTU Suralaya sebesar 1,0 μg m-3. Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer). Angka kematian dan kerugian akan semakin meningkat menjadi 1.640 jiwa dan Rp15,8 triliun jika seluruh PLTU itu menyemburkan gas polutan secara maksimal (Author 4 BBC, 2023).
    Dalam mengatasi tantangan lingkungan yang terkait dengan industri nikel dan batubara, pendekatan teknik kimia dapat memperkenalkan serangkaian solusi yang terfokus pada pengembangan teknologi pengolahan lanjutan. Ini termasuk penggunaan teknologi pemisahan lanjutan seperti adsorpsi dan metode katalitik untuk membersihkan gas buang dan limbah cair, serta penerapan teknologi pemulihan dan daur ulang untuk meminimalkan limbah dan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku. Selain itu, rekayasa proses yang efisien juga bisa menjadi fokus utama, dengan optimisasi proses ekstraksi dan pemurnian yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi dan bahan kimia serta meminimalkan produk sampingan. Kontrol emisi yang ketat pada fasilitas pengolahan juga ditekankan, dengan implementasi sistem kontrol emisi yang ketat dan penggunaan teknologi kontrol polusi udara yang canggih. Selain itu, pengembangan bahan bakar alternatif dan katalis yang lebih ramah lingkungan menjadi aspek penting dalam mengurangi ketergantungan pada batubara dalam industri energi. Sementara itu, pemantauan proses online yang canggih dan pendidikan yang intensif kepada karyawan dan masyarakat lokal juga dianggap krusial dalam memastikan praktik industri yang lebih ramah lingkungan dan aman bagi lingkungan sekitar. Dengan menerapkan solusi-solusi ini secara menyeluruh, diharapkan dapat mencapai keseimbangan antara kebutuhan industri dan pelestarian lingkungan.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Postingan Populer

Arsip Blog