[BUTENA 5] Gas Flaring: Safety First, Polusi Nomor Dua

Gas FlaringSafety First, Polusi Nomor Dua

 Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan aktivitas Flaring oleh PT Lotte Chemical Indonesia pada Mei hingga Juni, 2025. Masyarakat geger langit Kota Cilegon berwarna merah menyala seperti terbakar saat malam, ternyata disebabkan aktivitas flaring dari PT Lotte Chemical Indonesia. Berita mengenai gas flaring ini sering menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat.

Pihak perusahaan PT Lotte Chemical Indonesia mengklaim aktifitas flaring tidak merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Mereka juga mengatakan kegiatan tersebut sudah sesuai standar dan dipantau ketat. ”Kami menghimbau kepada masyarakat agar tidak khawatir. Kegiatan ini aman dan telah sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku,” ujar Senior Assistant Manager General Affair PT Lotte Chemical Indonesia, Mohammad Khalimi, dalam keterangan resminya, Jumat, 23 Mei 2025. PT Lotte Chemical Indonesia meminta maaf aktivitas flaringnya menimbulkan kegaduhan dan kekhawatiran di masyarakat. 

Lalu, apakah flaring itu? Benarkah tidak menimbulkan bahaya?

Pada dasarnya instalasi Flare merupakan sistem pengaman suatu gas yang dihasilkan dari proses pengolahan maupun produksi dengan cara membakar gas tersebut. Pembakaran gas pada flare sebenarnya masih menghasilkan emisi yang tentunya mencemari lingkungan dan merupakan penyebab utama pemanasan global saat ini sehingga perlunya pemanfaatan gas pada flare melalui konversi energi agar gas flare bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi lain. Hal tersebut yang sekarang ini menjadi prioritas utama industri-industri migas. Gas yang dihasilkan dari pemisahan minyak ini sebagian besar adalah gas Metana (CH4). Gas metana ini merupakan gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global seperti halnya Karbon dioksida (CO2), tetapi Metana ini 21 kali lebih merusak daripada Karbon dioksida.

Di dalam sebuah perusahaan pengolahan gas, ketika gas excess (berlebih) harus dibuang dengan disuntikkan ke reservoir. Cara lain untuk membuang kelebihan gas ini yaitu dengan pembakaran pada flare. Proses ini disebut flaring. Gas flare sering terletak di sekitar plant, kilang, atau sumur produksi dimana flare berbentuk seperti cerobong dengan api terlihat di bagian atas. Dampak terjadinya kelebihan tekanan terlihat nyala panjang api pada cerobong flare yang mengarah ke atas, semakin besar tekanan maka semakin besar juga nyala api yang dihasilkan.

 

(Proses Flow Diagram Gas Flaring)


Flare Gas Recovery System (FGRS) menggunakan dua unit kompresor sebagai peralatan utama yang berfungsi untuk mengompresi gas yang berasal dari header. Fungsi kompresor ini sangat vital karena tekanan flare gas yang rendah perlu dinaikkan agar dapat digunakan kembali sebagai bahan bakar, sehingga efisiensi energi meningkat dan emisi gas buang berkurang.

Gas yang dikompresi berasal dari flare gas header yang terletak sebelum liquid seal drum. Di sini, flare gas melewati water seal drum sebelum dibakar di flare stack. Proses ini penting untuk mengendalikan tekanan dalam sistem dan mencegah kontak langsung antara gas dan atmosfer luar.

Seal drum yang berisi air berfungsi untuk menciptakan tekanan balik positif dalam flare header, sehingga menghindari masuknya udara dari luar ke dalam sistem flare. Ini sangat penting karena masuknya udara dapat menyebabkan campuran mudah terbakar yang berisiko ledakan, serta mengganggu kestabilan tekanan di seluruh sistem flare.

Flare Gas Recovery System diletakkan di bagian hilir (downstream) dari knockout drum yang berfungsi memisahkan fase cair dari gas sebelum gas masuk ke kompresor. Knockout drum mengumpulkan gas buangan dari berbagai unit proses di kilang, sehingga memastikan hanya gas yang relatif bersih dan kering yang masuk ke sistem kompresi.

Gas flare yang masuk ke kompresor berada pada kondisi tekanan rendah, sekitar 1.1 kg abs, dan suhu sekitar 38°C. Dalam prosesnya, udara proses atau gas pendukung dialirkan secara kontinu ke dalam kompresor untuk membantu proses kompresi, memberikan efek pendinginan, dan mendukung fungsi sealing (penyegelan) agar dalam kinerja kompresor tidak terjadi overheating atau kebocoran gas.

Setelah melalui tahap kompresi, campuran gas, uap air, dan hidrokarbon dialirkan ke separator gas-cair (gas/liquid separator). Peralatan ini memisahkan fase cair dan gas agar gas yang keluar memiliki kualitas yang sesuai untuk digunakan kembali sebagai fuel gas, sementara fase cair dapat ditangani dengan proses lain sesuai karakteristiknya.

2,000+ Natural Gas Flare Stock Photos, Pictures & Royalty-Free Images -  iStock | Natural gas flame, Natural gas production, Natural gas pipeline

 

Proses flaring dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: 

  1. Flaring darurat

Flaring jenis ini terjadi saat ada situasi tidak terduga, seperti kebakaran, kerusakan katup, atau kegagalan alat seperti kompresor. Karena kondisinya darurat, dalam waktu singkat gas dalam jumlah besar dibakar dengan cepat untuk mencegah ledakan atau bahaya lainnya. Tujuan utamanya adalah melindungi instalasi dan keselamatan pekerja.

  1. Flaring proses

Flaring proses terjadi selama operasi normal di fasilitas pengolahan minyak dan gas, seperti kilang, pabrik petrokimia, atau instalasi pemrosesan gas alam. Dalam proses produksi ini, terkadang ada gas sisa atau gas buang yang tidak bisa dimanfaatkan kembali. Flaring proses juga bisa terjadi saat sistem sedang dinyalakan (startup), dimatikan (shutdown), atau saat ada gangguan kecil seperti tekanan berlebih dalam pipa. Tujuan utama dari flaring proses ini adalah untuk menjaga sistem tetap aman, melindungi peralatan dari kerusakan akibat tekanan tinggi, dan memastikan proses produksi berjalan stabil.

  1. Flaring produksi 

Flaring produksi dilakukan dalam tahap eksplorasi atau pengujian sumur minyak dan gas. Ketika sebuah sumur baru dibor dan ditemukan kandungan gas atau minyak, perusahaan perlu melakukan uji coba atau well testing. Uji ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar potensi produksi dari sumur tersebut, seperti berapa banyak minyak atau gas yang bisa keluar dalam satuan waktu tertentu. Selama pengujian berlangsung, gas yang keluar dari sumur biasanya belum bisa langsung dimanfaatkan karena belum tersedia jaringan pipa atau fasilitas pengolahan. Oleh karena itu, gas tersebut dibakar melalui flareFlaring produksi ini umumnya berlangsung dalam waktu terbatas, namun volume gas yang dibakar bisa sangat besar.

 Flare akan melepaskan gas-gas seperti hidrogen sulfida, toluena, benzena, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan xilena, serta partikel dan jelaga (karbon hitam). Gas terikut umumnya muncul pada proses pengeboran, perawatan sumur (work over), dan pengilangan, dan pembakarannya telah dilakukan sejak tahun 1935.

Pembakaran memerlukan tiga unsur utama, yaitu bahan bakar, zat pengoksidasi (biasanya oksigen di udara), dan panas (atau sumber penyulut). Flare umumnya beroperasi dengan nyala pilot (pilot flame) sebagai sumber penyulut, dan menggunakan udara sekitar sebagai zat pengoksidasi. Gas yang dapat terbakar umumnya memiliki batas atas dan batas bawah kemampuan terbakar (flammability limits). Batas atas kemampuan terbakar (Upper Flammability Limit/UFL) adalah konsentrasi tertinggi suatu gas dalam udara yang masih dapat terbakar.  Batas bawah kemampuan terbakar (Lower Flammability Limit/LFL) adalah konsentrasi terendah suatu gas dalam udara yang masih dapat terbakar. Pembakaran hanya dapat terjadi dalam rentang antara UFL dan LFL.

 Apakah flaring menyebabkan gas rumah kaca?

          Gas karbon dioksida dari pembakaran gas flare menjadi salah satu penyebab utama efek gas rumah kaca dan seharusnya menjadi perhatian serius. Meskipun konsentrasi polutan menurun seiring bertambahnya jarak dari cerobong flare, gas-gas tersebut tetap telah dilepaskan ke atmosfer dan memicu reaksi kimia berantai yang secara tidak langsung menyebabkan pemanasan global (global warming).

Sekitar 140 miliar meter kubik (bcm) gas alam dibakar melalui proses flaring di seluruh dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2022, volume gas yang dibakar secara global menurun sekitar 5 miliar meter kubik, menjadi 139 bcm (penurunan sekitar 3%). Pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca tahunan setara 500 juta ton CO₂. 

Teknologi Flare to Power

Flare Gas to Power adalah teknologi yang menangkap gas buang dari proses pembakaran di suar kilang, gas yang semula hanya dilepaskan ke atmosfer, dan mengonversinya menjadi listrik. Gas murni dialirkan ke turbin gas atau mesin pembangkit listrik. Melalui pembakaran yang lebih efisien, energi dihasilkan dalam bentuk listrik dan/atau panas. Listrik yang dihasilkan dapat langsung digunakan untuk mendukung operasional kilang atau disalurkan ke jaringan listrik, sehingga mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil.

 Inisiatif ini sejalan dengan target pemerintah menuju energi bersih dan mendukung visi net zero emission dalam jangka panjang.              

 

DAFTAR PUSTAKA

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/200/1/012023

Desrina, R. (2014). Pemanasan Global Akibat Kegiatan di Sektor Minyak dan Gas Bumi. LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK DAN GAS BUMI (LPMGB)48(2), 63-72.

Zain, A. F. (2018). Analisa Kelebihan Tekanan Pada Saat Pembakaran Gas Berlebih pada Flare.

 

 

Converted to HTML with WordToHTML.net

Share:

Postingan Populer

Arsip Blog